Minggu, 08 November 2009

Cari Aman = Selemah-Lemah Iman

Bapak2 dan Ibu2 jangan mau ikut campur terhadap permasalahan yang tidak diketahui. Lebih baik tidak ikut-ikutan orang lain yang sedang dukung sana dukung sini. Kira-kira begitulah substansi dari pesan yang disampaikan dalam salah satu acara siang tadi di televisi oleh salah seorang ustadz. Pikiranku langsung menerawang ke kasusnya Chandra Hamzah dan Bibit Samad yang menjadi korban dari skenario besar untuk melemahkan institusi KPK.

Sambil merenung ku bertanya di dalam hati, mengapa masyarakat harus dilarang untuk mendukung sesuatu yang diyakini kebenarannya. Seharusnya masyarakat didorong untuk peka dan peduli terhadap realitas sosial yang terjadi. Ketika aparatur hukum tidak berfungsi lagi maka masyarakat harus mengambil peran menyelamatkannya. Bukan hanya diam dan mencari aman, karena itu merupakan selemah-lemah iman.

Apa jadinya negara ini jika partisipasi masyarakatnya rendah untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Bisa-bisa kita akan kembali ke zaman kegelapan seperti eranya Soeharto yang memimpin dengan tangan besi.

Islam merupakan agama yang membebaskan yang menyuruh umatnya untuk menyampaikan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Islam menyuruh umatnya untuk menyampaikan yang benar walaupun pahit. Islam tidak menyuruh umatnya untuk lari dari permasalahan karena ingin mencari aman. Sebaik-baik muslim adalah orang yang mampu mentransformasi kesalehan individunya menjadi kesalehan sosial. Di saat lingkungannya dalam kemunkaran maka dia wajib untuk merubahnya kepada kebaikan.

Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk menaati Allah, Rasul dan pemimpinnya. Namun jika pemimpinya salah maka tidak ada kewajiban untuk mengikutinya melainkan kewajiban untuk menegur dan menyuruhnya untuk bertaubat.

Ada suatu pepatah arab yang mengatakan “kebenaran yang tidak diorganisir akan mampu dikalahkan oleh kebathilan yang diorganisir”. Sudah saatnya kita masyarakat menjadi bagian yang mengorgansir untuk menegakkan kebenaran tersebut. Suara rakyat adalah suara tuhan (Voc Populi Voc Dei). Masihkah slogan itu terdengar di telinga para pemimpin kita. Ataukah mereka sekarang menganggap bahwa suara rakyat bukan suara tuhan voc populi voc dei ?.

Menggagas Pendidikan Partisipatif Bagi Anak

Masih banyak para orang tua dan guru kita yang belum siap untuk mengusung konsep partisipatif dalam ranah pendidikan di sekolah formal maupun di rumah tangga. Streotif yang selalu dimunculkan adalah bahwa kalau anak terlalu diberikan kebebasan maka dia akan berlaku tidak sopan dan cenderung melawan orang tua atau guru. Streotif lainnya adalah bahwa anak belum tahu apa-apa, serta belum saatnya mereka bicara dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan kita tidak berkembang.

Munculnya streotif tersebut tentunya dipengaruhi faktor budaya dan kepentingan politik penguasa tertentu, agar pendidikan menjadi alat legitimasi untuk mendukung kekuasaan. Seperti yang diterapkan pada masa Presiden Soeharto yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Namun seiring perjalanan waktu masyarakat menginginkan reformasi di dunia pendidikan yang selama ini telah terkontaminasi dengan politik kekuasaan serta budaya yang tidak sehat dalam sistem pendidikan nasional. Untuk itulah sudah saatnya Dunia Pendidikan kita menerapkan pendidikan partisipatif yang memberdayakan anak didik.
Lantas apa yang dimaksud dengan pendidikan partisipatif tersebut serta apa perbedaannya dengan ssitem pendidikan yang selama ini telah berlangsung.

Pendidikan Partisipatif
Berbicara pendidikan partisipatif maka kita akan teringat seorang tokoh pendidikan yang sangat populer pada masanya yakni Paulo Freire. Dia merupakan tokoh pendidikan partisipatif yang telah merubah paradigma pendidikan tradisional menuju pendidikan modern dengan konsep pendidikan yang membebaskan atau pendidikan partisipatif. Saat itu dia mengkritisi sistem pendidikan gaya bank yang dipraktekkan di lembaga pendidikan formal. Anak didik hanya dianggap sebagai celengan alias objek atau wadah penampung ide, gagasan, pengetahuan dari sang guru yang bertindak sebagai subyek alias penabung. Semakin banyak yang ditabung maka semakin berhasil guru dalam melaksanakan tugasnya. Semakin mampu anak didik mematuhi, mengulangi dan menjelaskan apa yang diingat oleh guru maka proses pendidikan telah dianggap berhasil.

Paulo Freire ingin merubah paradigma terhadap anak didik dan guru yang selama ini dipraktekkan di lembaga pendidikan formal tersebut. Pola pendidikan tersebut menyebabkan anak didik menjadi generasi beo yang tidak mempunyai sikap kritis karena dibesarkan dalam lingkungan yang tidak demokratis dan tidak menghargai perbedaan. Untuk itulah dia menggagas pendidikan yang membebaskan yang menjunjung tinggi nilai-nilai partisipatif, demokratis dan pluralis yang memberdayakan anak didik.
Pendidikan partisipatif adalah pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif dan kritis. Dia tidak hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru melainkan dia juga mampu memahami dan mempunyai argumentasi terhadap sesuatu yang dia kerjakan.

Selain itu pendidikan partisipatif membangun relasi yang setara (egaliter) antara anak didik dan pendidik. Guru diposisikan sebagai pendamping yang mendampingi anak didik sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Belajar seharusnya menjadi media yang menyenangkan bagi anak bukan malah membuat beban sehingga dia merasa tertekan dan tidak menikmati proses belajar.

Potret Pendidikan Nasional
Pemerintah memang telah memulai reformasi pendidikan nasional yang dimulai dengan pembentukan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kemudian memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan kemudian berganti lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Keinginan pemerintah tersebut patut untuk kita apresiasi karena ternyata mereka juga telah memikirkan untuk memajukan dunia pendidikan. Namun perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP juga menyimpan kebingungan masyarakat seakan-akan pemerintah tidak seirus dan terkesan melakukan kelinci percobaan. Walaupun diklarifikasi bahwa KTSP merupakan penyempurnaan dari KBK yang masih berorientasi sentralistik. Sehingga diganti dengan KTSP yang berorientasi desentralisasi.

Dalam realitasnya KTSP belum mampu memberdayakan anak didik sesuai dengan konsep partisipatif. Hanya sebagian kecil saja sekolah-sekolah dari tingkat SD, SLTP dan SLTA yang telah menerapkan konsep partisipatif tersebut. Sosialisasi yang kurang juga menjadi penyebab paradigma para pendidik saat ini masih belum berubah dari pendidikan gaya bank menjadi pendidikan yang membebaskan atau partisipatif ala Paulo Freire.

Selain itu, KTSP belum mampu merubah belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan bukan menyedihkan. Tidak jarang anak didik, begitu sampai di rumah menjadi tertekan karena harus mengerjakan pekerjaan rumah yang begitu banyak. Dari sini saja pendidikan telah gagal dalam melakukan proses tranformasi pendidikan.

Selain itu orientasi pendidikan yang hanya mengedepankan kognitif atau intelektualitas juga bertentangan dengan pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam kenyataannya keberhasilan lembaga pendidikan saat ini dilihat seberapa banyak peserta didik yang lulus UAN. Pendidikan kita hanya berorientasi mencetak orang pintar bukan mencetak orang jujur atau orang yang berakhlak mulia. Hal ini juga sudah bertentangan dengan pasal 3 yang menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Penutup
Sudah saatnya orang orang dewasa belajar untuk memahami anak-anak, bukan sebaliknya menyuruh anak-anak untuk memahami orang dewasa. Karena anak bukanlah orang dewasa yang bertubuh kecil, melainkan individu yang belum matang baik secara fisik, mental dan spiritual.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sayang Tapi Benci

Gundah, kesal, jengkel, marah itulah mungkin diantara perasaan yang ada di benak anda dan saya yang saat ini menyaksikan dagelan para penguasa dalam mengolok-olok atau mempermainkan drama penegakan hukum. Konflik KPK dan Polri saat ini telah memasuki babak pertama dengan skor 1:0 yang dimenangkan oleh Polri. Disebabkan telah berhasil menahan pimpinan KPK non aktif Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Yang membuat jengkel adalah wasit yang bertindak sebagai pemimpin lapangan tidak menganulir gol yang dengan sengaja dimasukkan dengan cara curang ke gawang lawannya. Bahkan wasit justru mensahkan gol tersebut. Akibatnya pertandingan belum bisa dilanjutkan karena para penonton yang menyaksikannya menolak keputusan wasit tersebut. Mereka sama-sama menyerbu lapangan hijau untuk memberikan informasi dan memberikan dukungan kepada club yang mereka anggap bermain sportif.

Namun wasit tetap saja tidak mendengarkan suara para pemain, supporter, pelatih, pengamat, wartawan dan lain sebagainya dengan mengatakan bahwa gol yang sudah masuk tersebut tidak bisa lagi dintervensi olehnya. Alasannya dia sebagai wasit akan membuat preseden buruk bagi pertandingan sepak bola di tanah air ini jika intervensi dilakukan. Berbagai data dan fakta mulai dikumpulkan untuk meyakinkan sang wasit diantaranya adalah kaset rekaman pertandingan. Tapi wasit malah menganggap bahwa penyebaran dan penyadapan rekaman tersebut sebagai tindakan ilegal. Kenapa isi rekaman yang menjadi substansi perkaranya malah tidak direspon. Keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat, memang menjadi pendiriannya. Walaupun keputusannya mengabaikan rasa keadilan dan kebenaran.

Berbagai spekulasi pun berkembang bahwa wasit sudah dibayar, punya kepentingan dan lain sebagainya sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk memberikan keadilan bagi klub yang dirugikan. Untuk itu para pemain, supporter, dan pihak-pihak lain harus bekerja keras untuk mengungkap kasus ini secara hukum agar drama kecurangan tersebut dapat ketahui dengan benar.

Sayang tapi benci mungkin tepat sebagai kesimpulan dari sikap dan komentar wasit yang tidak tegas dan cenderung normatif tersebut.